Sunday, October 4, 2015

Mungkinkah Memandang Wajah Allah Ta’ala ?



Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
 
Bertemu dengan Allah Subhanahu Wata’ala dan memandang wajah-Nya kelak pada hari kiamat adalah merupakan sebuah kenikmatan yang tak terhingga besarnya. Oleh karena itu setiap orang yang beriman pasti akan sangat merindukan pertemuan dengan Allah dan memandang wajah-Nya. Untuk mencapai hal itulah mereka harus berusaha menjalani syarat-syarat yang telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an yaitu mengerjakan amalan-amalan shalih dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan-Nya dalam beribadah kepada Rabb-nya. (al-Kahfi: 110)
Demikianlah, pertemuan dengan Allah kelak adalah satu hal yang harus diimani oleh setiap muslim. Namun yang sangat mengherankan, muncul orang-orang yang mengaku muslimin, tetapi mereka mengingkari pertemuan dengan Allah Subhanahu Wata’ala dan mengingkari akan dapat dilihatnya wajah Allah pada hari kiamat dengan melakukan ta’wil-ta’wil yang batil terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits. Ini menunjukkan kalau mereka sama sekali tidak berharap bertemu Allah.

Adapun bagi ahlus sunnah wal jama’ah -pengikut para shahabat dan tabi’in dan atba’ut tabi’in-, mereka adalah orang-orang yang sangat meyakini akan adanya pertemuan dengan Allah dan berharap untuk diberikan kesempatan melihat wajah-Nya.

Bukan hanya itu, bahkan sesungguhnya seluruh manusia kelak akan sangat mengharapkan untuk mendapatkan kesempatan memandang wajah Allah, karena hal itu merupakan satu kenikmatan. Namun orang-orang kafir akan terhalang untuk memandang wajah Allah, karena kekufuran mereka ketika masih hidup di dunia.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari Rabb mereka. (al-Muthaffifin: 15)

Berkata Imam Syafi’i Rahimahullah: Ketika mereka (orang-orang kafir –pent.) terhalang dari Allah karena kemurkaan-Nya, maka ini merupakan dalil bahwa wali-wali yang dicintai-Nya akan melihat-Nya dalam keridlaan. (Syarh Aqidatu ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, hal. 191)

DALIL DALIL TENTANG AKAN DILIHATNYA WAJAH ALLAH
 
Dalil-dalil yang menunjukkan akan dilihatnya wajah Allah oleh kaum mukminin di akhirat selain ayat-ayat di atas sangat banyak. Di antaranya:

(1) Firman Allah Subhanahu Wata’ala: Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Yunus: 26)

Yang dimaksud dengan “tambahan” pada ayat di atas adalah memandang wajah Allah sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat dari Shuhaib Radhiyallahu ‘Anhu ketika menafsirkan ayat di atas Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): Kemudian ketika penghuni surga telah masuk surga, Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu tambahan?” Mereka menjawab: “Bukankan engkau telah memutihkan wajah-wajah kami, bukankah engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan Kau selamatkan kami dari api neraka?” Kemudian Allah menyingkapkan hijabnya, maka tidak ada pemberian yang lebih mereka sukai daripada memandang wajah Allah Azza wa Jalla. (HR. Muslim)
 
(2) Demikian pula dalam surat al-Qiyamah, Allah sebutkan lebih tegas lagi tentang orang-orang yang beriman dengan wajah yang berseri-seri memandang wajah Allah (yang artinya): Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat. (al-Qiyamah: 22-23)

Ayat ini dengan jelas sekali menunjukkan akan dilihatnya Allah. Namun, mereka yang menolak akan dapat dilihatnya Allah pada hari kiamat berkilah bahwa kata “nadhara” belum tentu bermakna “melihat”, tapi bisa juga mempunyai makna lain yaitu “menunggu”, “tafakkur” dan lain-lain. Bantahan terhadap mereka adalah bahwa memang kata “nadhara” dapat memiliki beberapa makna, tetapi kita dapat mengetahui makna yang dimaksud dengan memperhatikan “huruf bantu”nya.
  1. Jika kata “nadhara” disebutkan tanpa huruf bantu, maka bermakna “menunggu”. Seperti ayat Allah (yang artinya): …Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahaya-mu… (al-Hadiid: 13)
  2. Jika kata “nadhara” disebutkan dengan huruf bantu “fie”, maka bermakna tafakkur dan mengambil pelajaran. Seperti dalam firman-Nya (yang artinya): Apakah mereka tidak memperhatikan/tafakkur terhadap kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah…? (al-A’raaf: 185)
  3. Adapun jika kata “nadhara” disebutkan dengan huruf bantu “ila”, maka maknanya adalah “melihat dengan mata”. Seperti ayat Allah: Lihatlah kepada buah-buahan di waktu pohonnya telah berbuah… (al-An’aam: 99)
Oleh karena itu dalam ayat di atas (surat al-Qiyamah), Allah Subhanahu Wata’ala dengan jelas mengatakan “ila rabbiha nadhirah”, yang berarti kata “nadhara” disebutkan dengan huruf bantu “ila” dan bermakna “melihat dengan mata kepala”.
 
Apalagi disebutkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala pelaku dari pekerjaan melihat di atas adalah “wajah-wajah mereka”. Maka tidak tepat kalau diartikan “wajah mereka menunggu” atau “wajah mereka bertafakkur”. Yang tepat adalah “wajah mereka melihat”, karena kemana mata memandang ke sana pulalah wajah menghadap. (Penjelasan lebih lengkap, baca Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, hal. 189-190)

Ini adalah bantahan buat mereka yang menyelewengkan makna nadhara pada makna-makna lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan lafadhnya, bahkan keluar dari kaidah bahasa arab. Takwil-takwil mereka yang rusak inilah yang telah menghancurkan agama dan dunia.

Berkata Ibnu Abil ‘Izzi: “Ta’wil yang merusak inilah yang telah menghancurkan dunia. Bahkan ini pulalah yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nashrani terhadap kitab-kitab mereka Taurat dan Injil. Dan Allah telah memperingatkan kita untuk jangan meniru mereka”.

Beliau juga berkata: “Dan tidaklah memberontak kaum khawarij, tidaklah memisahkan diri kaum mu’tazilah, tidaklah rafidlah menjadi penentang, dan tidak pula berpecah umat menjadi 73 golongan kecuali karena ta’wil-ta’wil yang rusak tersebut”. (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, hal. 189)

(3) Dalam riwayat lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu  disebutkan: Sesungguhnya manusia telah bertanya kepada Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam: “Wahai Rasulullah! Adakah kami dapat melihat Rabb kami pada Hari Kiamat?” Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Adakah yang memudharatkan kalian jika kalian melihat bulan pada malam purnama”? Mereka menjawab: “Tidak, wahai Rasulullah!” Beliau bertanya lagi kepada mereka: “Adakah yang memudharatkan kalian jika kalian melihat matahari yang tidak dilindungi awan?” Mereka menjawab: “Tidak wahai Rasulullah!” Kemudian beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Begitu juga kalian akan melihat-Nya…” (HR. Bukhari Muslim)

(4) Dalam riwayat lainnya dari shahabat Jarir bin Abdullah Radhiyallahu ‘Anhu: Ketika kami sedang duduk di samping Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, tiba-tiba beliau memandang bulan purnama, seraya bersabda: “Sesungguhnya kalian akan dapat melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini, dan kalian tidak berdesak-desakkan ketika melihat-Nya. Maka jika kalian mampu, janganlah kalian lalai untuk melakukan shalat sebelum terbit Matahari dan sebelum terbenam Matahari, yaitu shalat Asar dan Subuh”. Kemudian Jarir membaca firman Allah “Dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu sebelum terbit dan terbenam matahari”. (HR. Bukhari Muslim)

Yang diserupakan dalam hadits diatas adalah cara mereka yang mudah dan tidak berdesak-desakkan, bukan menyerupakan Allah dengan bulan. Berkata Imam Abu Utsman ash-Shabuni: Yang diserupakan dalam hadits ini adalah “cara melihat” dengan “cara melihat”, bukan “yang dilihat” dengan yang dilihat. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 76)
 
Ibnu Abil ‘Izzi berkata dalam Syarh Aqidatu ath-Thahawiyah bahwa hadits-hadits tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat telah diriwayatkan dari sekitar 30 orang shahabat. Barangsiapa yang meneliti seluruhnya, maka dia akan yakin bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam benar-benar telah mengatakannya. (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, hal. 189)

Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf

No comments:

Post a Comment